Masyarakat Majemuk,
Masyarakat Multikultural, dan Minoritas:
Memperjuangakan Hak-hak Minoritas
Masyarakat Majemuk
Dalam masyarakat majemuk manapun, mereka yang tergolong sebagai minoritas
selalu didiskriminasi. Ada yang didiskriminasi secara legal dan formal, seperti
yang terjadi di negara Afrika Selatan sebelum direformasi atau pada jaman
penjaajhan Belanda dan penjaajhan Jepang di Indonesia. Dan, ada yang
didiskriminasi secara sosial dan budaya dalam bentuk kebijakan pemerintah
nasional dan pemerintah setempat seperti yang terjadi di Indonesia dewasa ini.
Dalam tulisan singkat ini akan ditunjukkan bahwa perjuangan hak-hak minoritas
hanya mungkin berhasil jika masyarakat majemuk Indonesia kita perjuangkan untuk
dirubah menjadi masyarakat multikultural. Karena dalam masyarakat multikultural
itulah, hak-hak untuk berbeda diakui dan dihargai. Tulisan ini akan dimulai
dengan penjelasan mengenai apa itu masyarakat Indonesia majemuk, yang
seringkali salah diidentifikasi oleh para ahli dan orang awam sebagai
masyarakat multikultural. Uraian berikutnya adalah mengenai dengan penjelasan
mengenai apa itu golongan minoritas dalam kaitan atau pertentangannya dengan
golongan dominan, dan disusul dengan penjelasan mengenai multikulturalisme.
Tulisan akan diakhiri dengan saran mengenai bagaimana memperjuangkan hak-hak
minoritas di Indonesia.
Masyarakat Majemuk Indonesia
Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-masyarakat
suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by force)
menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua,
masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk.
Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk
antara lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang
menyolok dan kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem
nasional atau pemerintah nasional dengan masyrakat suku bangsa, dan hubungan di
antara masyarakat suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional. Dalam
perspektif hubngan kekuatan, sistem nasional atau pemerintahan nasional adalah
yang dominan dan masyarakat-masyarakat suku bangsa adalah minoritas. Hubungan
antara pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa dalam masyarakat jajahan
selalu diperantarai oleh golongan perantara, yang posisi ini di hindia Belanda
dipegang oleh golongan Cina, Arab, dan Timur Asing lainnya untuk kepentingan
pasar. Sedangkan para sultan dan raja atau para bangsawan yang disukung oleh
para birokrat (priyayi) digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan
penguasaan. Atau dipercayakan kepada para bangsawan dan priyayi untuk
kelompok-kelompok suku bangsa yang digolongkan sebagai terbelakang atau
primitif.
Dalam masyarakat majemuk dengan demikian ada perbedaan-perbedaan sosial,
budaya, dan politik yang dikukuhkan sebagai hukum ataupun sebagai konvensi
sosial yang membedakan mereka yang tergolong sebagai dominan yang menjadi lawan
dari yang minoritas. Dalam masyarakat Hindia Belanda, pemerintah nasional atau
penjajah mempunyai kekutan iliter dan polisi yang dibarengi dengan kekuatan
hukum untuk memaksakan kepentingan-kepentingannya, yaitu mengeksploitasi sumber
daya alam dan manusia. Dalam struktur hubungan kekuatan yang berlaku secara
nasional, dalalm penjajahan hindia Belanda terdapat golongan yang paling
dominan yang berada pada lapisan teratas, yaitu orang Belanda dan orang kulit
putih, disusul oleh orang Cina, Arab, dan Timur asing lainnya, dan kemuian yang
terbawah adalah mereka yang tergolong pribumi. Mereka yang tergolong pribumi
digolongkan lagi menjadi yang tergolong telah menganl peradaban dan meraka yang
belum mengenal peradaban atau yang masih primitif. Dalam struktur yang berlaku
nasional ini terdapat struktur-struktur hubungan kekuatan dominan-minoritas
yang bervariasi sesuai konteks-konteks hubungan dan kepentingan yang
berlaku.
Dalam masa pendudukan Jepang di Indonesia, pemerintah penajajahan Jepang
yang merupakan pemerintahan militer telah memposisikan diri sebagai kekuatan
memaksa yang maha besar dalam segala bidang kehidupan masyarakat suku bangsa
yang dijajahnya. Dengan kerakusannya yang luar biasa, seluruh wilayah jajahan
Jepang di Indonesia dieksploitasi secara habis habisan baik yang berupa sumber
daya alam fisik maupun sumber daya manusianya (ingat Romusha), yang merupakan
kelompok minoritas dalam perspektif penjajahan Jepang. Warga masyarakat Hindia
Belanda yang kemudian menjadi warga penjajahan Jepang menyadari pentingnya
memerdekakan diri dari penjajahan Jepang yang amat menyengsarakan mereka,
emmerdekakan diri pada tanggal 17 agustus tahun 1945, dipimpin oleh
Soekarno-Hatta.
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, yang disemangati oleh Sumpah
Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah
negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Pada tahun-tahun penguasaan dan
pemantapan kekuasaan pemerintah nasional barulah muncul sejumlah pemberontakan
kesukubangsaan-keyakinan keagamaan terhadap pemerintah nasional atau pemerintah
pusat, seperti yang dilakukakn oleh DI/TII di jawa Barat, DI/TII di Sulawesi
Selatan, RMS, PRRI di Sumatera Barat dan Sumatera Selatan, Permesta di Sulawesi
Utara, dan berbagai pemberontakan dan upaya memisahkan diri dari Republik
Indonesia akhir-akhir ini sebagaimana yang terjadi di Aceh, di Riau, dan di
Papua, yang harus diredam secara militer. Begitu juga dengan kerusuhan berdarah
antar suku bangsa yang terjadi di kabupaten Sambas, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengah, dan Maluku yang harus diredam secara paksa. Kesemuanya ini menunjukkan
adanya pemantapan pemersatuan negara Indonesia secara paksa, yang disebabkan
oleh adanya pertentangan antara sistem nasional dengan masyarakat suku bangsa
dan konflik di antara masyarakat-masyarakat suku bangsa dan keyakinan keagamaan
yang berbeda di Indonesia.
Dalam era diberlakukannya otonomi daerah, siapa yang sepenuhnya berhak atas
sumber daya alam, fisik, dan sosial budaya, juga diberlakukan oleh pemerintahan
lokal, yang dikuasai dan didominasi administrasi dan politiknya oleh putra
daerah atau mereka yang secara suku bangsa adalah suku bangsa yang asli
setempat. Ini berlaku pada tingkat provinsi maupun pada tingkat kabupaten dan
wilayah administrasinya. Ketentuan otonomi daerah ini menghasilkan golongan
dominan dan golongan minoritas yang bertingkat-tingkat sesuai dengan
kesukubangsaan yang bersangkutan. Lalu apakah itu dinamakan minoritas dan
dominan?
Hubungan Dominan-Minoritas
Kelompok minoritas adalah orang-orang yang karena ciri-ciri fisik tubuh
atau asal-usul keturunannya atau kebudayaannya dipisahkan dari orang-orang
lainnya dan diperlakukan secara tidak sederajad atau tidak adil dalam
masyarakat dimana mereka itu hidup. Karena itu mereka merasakan adanya tindakan
diskriminasi secara kolektif. Mereka diperlakukan sebagai orang luar dari masyarakat
dimana mereka hidup. Mereka juga menduduki posisi yang tidak menguntungkan
dalam kehidupan sosial masyarakatnya, karena mereka dibatasi dalam sejumlah
kesempatan-kesempatan sosial, ekonomi, dan politik. Mereka yang tergolong
minoritas mempunyai gengsi yang rendah dan seringkali menjadi sasaran
olok-olok, kebencian, kemarahan, dan kekerasan. Posisi mereka yang rendah
termanifestasi dalam bentuk akses yang terbatas terhadap kesempatan-kesempatan
pendidikan, dan keterbatasan dalam kemajuan pekerjaan dan profesi.
Keberadaan kelompok minoritas selalu dalam kaitan dan pertentangannya
dengan kelompok dominan, yaitu mereka yang menikmati status sosial tinggi dan
sejumlah keistimewaan yang banyak. Mereka ini mengembangkan seperangkat
prasangka terhadap golongan minoritas yang ada dalam masyarakatnya. Prasangka
ini berkembang berdasarkan pada adanya (1) perasaan superioritas pada mereka
yang tergolong dominan; (2) sebuah perasaan yang secara intrinsik ada dalam
keyakinan mereka bahwa golongan minoritas yang rendah derajadnya itu adalah
berbeda dari mereka dantergolong sebagai orang asing; (3) adanya klaim pada
golongan dominan bahwa sebagai akses sumber daya yang ada adalah merupakan hak
mereka, dan disertai adanya ketakutan bahwa mereka yang tergolong minoritas dan
rendah derajadnya itu akan mengambil sumberdaya-sumberdaya tersebut.
Dalam pembahasan tersebut di atas, keberadaan dan kehidupan minoritas yang
dilihat dalam pertentangannya dengan dominan, adalah sebuah pendekatan untuk
melihat minoritas dengan segala keterbatasannya dan dengan diskriminasi dan
perlakukan yang tidak adil dari mereka yang tergolong dominan. Dalam perspektif
ini, dominan-minoritas dilihat sebagai hubungan kekuatan. Kekuatan yang
terwujud dalam struktur-struktur hubungan kekuatan, baik pada tingkat nasional
maupun pada tingkat-tingkat lokal. Bila kita melihat minoritas dalam kaitan
atau pertentangannya dengan mayoritas maka yang akan dihasilkan adalah hubungan
mereka yang populasinya besar (mayoritas) dan yang populasinya kecil (minoritas).
Perspektif ini tidak akan dapat memahami mengapa golongan minoritas
didiskriminasi. Karena besar populasinya belum tentu besar kekuatannya.
Konsep diskriminasi sebenarnya hanya digunakan untuk mengacu pada
tindakan-tindakan perlakuakn yang berbeda dan merugikan terhadap mereka yang
berbeda secara askriptif oleh golongan yang dominan. Yang termasuk golongan
sosial askriptif adalah suku bangsa (termasuk golongan ras, kebudayaan
sukubangsa, dan keyakinan beragama), gender atau golongan jenis kelamin, dan
umur. Berbagai tindakan diskriminasi terhadap mereka yang tergolong minoritas,
atau pemaksaan untuk merubah cara hidup dan kebudayaan mereka yang tergolong
minoritas (atau asimilasi) adalah pola-pola kehidupan yang umum berlaku dalam
masyarakat majemuk. Berbagai kritik atau penentangan terhadap dua pola yang
umum dilakukan oleh golongan dominan terhadap minoritas biasanya tidak mempan,
karena golongan dominan mempunyai kekuatan berlebih dan dapat memaksakan
kehendak mereka baik secara kasar dengan kekuatan militer dan atau polisi atau
dengan menggunakan ketentuan hukum dan berbagai cara lalin yang secara sosial
dan budaya masuk akal bagi kepentingan mereka yang dominan. Menurut pendapat
saya, cara yang terbaik adalah dengan merubah masyarakat majemuk (plural
society) menjadi masyarakat multikultural (multicultural society), dengan cara mengadopsi ideologi multikulturalisme sebagai pedoman hidup dan
sebagai keyakinan bangsa Indonesia untuk diaplikasikan dalam kehidupan bangsa
Indonesia.
Multikulturalisme dan Kesederajatan
Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan
penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian
kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun
secara kelompok, dan terutma ditujukan terhadap golongan sosial askriptif yaitu
sukubangsa (dan ras), gender, dan umur. Ideologi multikulturalisme ini secara
bergandengan tangan saling mendukung dengan proses-proses demokratisasi, yang
pada dasarnya adalah kesederajatan pelaku secara individual (HAM) dalam
berhadapan dengan kekuasaan dan komuniti atau masyarakat setempat.
Sehingga upaya penyebarluasan dan pemantapan serta penerapan ideologi
multikulturalisme dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, mau tidak mau harus bergandengan
tangan dengan upaya penyebaran dan pemantapan ideologi demokrasi dan kebangsaan
atau kewarganegaraan dalam porsi yang seimbang. Sehingga setiap orang Indoensia
nantinya, akan mempunyai kesadaran tanggung jawab sebagai orang warga negara
Indonesia, sebagai warga sukubangsa dankebudayaannya, tergolong sebagai gender
tertentu, dan tergolong sebagai umur tertentu yang tidak akan berlaku
sewenang-wenang terhadap orang atau kelompok yang tergolong lain dari dirinya
sendiri dan akan mampu untuk secara logika menolak diskriminasi dan perlakuakn
sewenang-wenang oleh kelompok atau masyarakat yang dominan. Program
penyebarluasan dan pemantapan ideologi multikulturalisme ini pernah saya
usulkan untuk dilakukan melalui pendidikakn dari SD s.d. Sekolah Menengah Atas,
dan juga S1 Universitas. Melalui kesempatan ini saya juga ingin mengusulkan
bahwa ideologi multikulturalisme seharusnya juga disebarluaskan dan dimantapkan
melalui program-program yang diselenggarakan oleh LSM yang yang sejenis.
Mengapa perjuangan anti-diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas
dilakukan melalui perjuangan menuju masyarakat multikultural? Karena perjuangan
anti-diskriminasi dan perjuangan hak-hak hidup dalam kesederajatan dari
minoritas adalah perjuangan politik, dan perjuangan politik adalah perjuangan
kekuatan. Perjuangan kekuatan yang akan memberikan kekuatan kepada
kelompok-kelompok minoritas sehingga hak-hak hidup untuk berbeda dapat
dipertahankan dan tidak tidak didiskriminasi karena digolongkan sebagai
sederajad dari mereka yang semula menganggap mereka sebagai dominan. Perjuangan
politik seperti ini menuntut adanya landasan logika yang masuk akal di samping
kekuatan nyata yang harus digunakan dalam penerapannya. Logika yang
masuk akal tersebut ada dalam multikulturalisme dan dalam demokrasi.
Upaya yang telah dan sedang dilakukan terhadap lima kelompok minoritas di
Indonesia oleh LSM, untuk meningkatkan derajad mereka, mungkin dapat dilakukan
melalui program-program pendidikan yang mencakup ideologi multikulturalisme dan
demokrasi serta kebangsaan, dan berbagai upaya untuk menstimuli peningkatan
kerja produktif dan profesi. Sehingga mereka itu tidak lagi berada dalam
keterbelakangan dan ketergantungan pada kelompok-kelompok dominan dalam
masyarakat setempat dimana kelompok minoritas itu hidup.
Diposkan
oleh seta basri tanggal 02 Agustus 2009
Masyarakat majemuk Indonesia. Sulit dipungkiri, Indonesia ditinjau dari aspek manapun merupakan sebuah bangsa yang majemuk. Ini terlebih jika dikontraskan dengan bangsa-bangsa lain seperti Jepang, Korea, Thailand, ataupun Anglo Saxon (Inggris). Kemajemukan ini tampak dalam manifestasi kebudayaan bangsa Indonesia yang tidak “satu.” Budaya Indonesia dapat dengan mudah dipecah ke dalam budaya Jawa, Sunda, Batak, Minangkabau, atau pun Toraja, sebagai misal.
Kemajemukan juga termanifestasi dalam masalah agama, lokasi domestik, tingkat ekonomi, ataupun perbedaan-perbedaan sikap politik. Sikap politik, secara khusus, paling mudah menampakkan diri ke dalam bentuk partai-partai politik yang bervariasi dan hidup berkembang di bumi Indonesia.
Sebab itu, merupakan suatu kajian menarik guna melihat seperti apa manifestasi kemajemukan struktur masyarakat Indonesia ini. Kemudian penelaahan akan dilakukan seputar kelebihan serta kelemahan dari struktur majemuk masyarakat Indonesia ini.
Keanekaragaman Kultur Indonesia
Selaku pisau analisa, perlu terlebih dahulu dibedah pengertian dari keanekaragaman kultur atau “multikultur”. Kajian mengenai masyarakat majemuk ini signifikan terutama di dalam masyarakat yang memang terdiri atas aneka pelapisan sosial dan budaya yang satu sama lain saling berbeda. Indonesia, sebab itu, mengembangkan slogan Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu). Slogan tersebut bersifat filosofis-politis, oleh sebab tanpa adanya unsure pemersatu, akan mudah kiranya memecah-belah kohesi politik masyarakat yang mendiami sekujur kepulauan nusantara ini.
Mengenai keanekaragaman kultur ini, Bhikhu Parekh membedakannya menjadi 3 yaitu : (1) Keanekaragaman Subkultural, (2) Keanekaragaman Perspektif, dan (3) Keanekaragaman Komunal.1 Ketiga pengertia mengenai keanekaragaman ini memiliki dampak berbedanya titik analisis atas kajian keanekaragaman atau multikultur yang dilakukan.
Keanekaragaman Subkultural
Menurut Parekh, Keanekaragaman Subkultural adalah suatu kondisi dimana para anggota masyarakat memiliki satu kebudayaan umum yang luas dianut, beberapa di antara mereka menjalankan keyakinan dan praktek yang berbda berkenaan dengan wilayah khidupan tertentu atau menempuh cara hidup mereka sendiri yang relative sangat berbeda.
Kini, kelompok-kelompok miskin urban, “punk”, kaum waria, gay, lesbian, dan kelompok-kelompok yang oleh masyarakat umum disebut “menyimpang” merupakan wujud dari keanekaragaman subkultural ini. Termasuk ke dalam contoh ini adalah Komunitas Lia Eden, kelompok-kelompok “sempalan” agama mainstream.
Masih menurut Parekh, Keanekaragaman Perspektif adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota masyarakat sangat kritis terhadap beberapa prinsip atau nilai-nilai sentral kebudayaan yang berlaku dan berusaha untuk menyatakannya kembali di sepanjang garis kelompok yang sesuai. Gerakan-gerakan Feminis dan emansipasi perempuan merupakan perwakilan Keanekaragaman Perspektif ini. Kemudian isu-isu pembentukan masyarakat madani di Indonesia, termasuk ke dalamnya isu-isu pembentukan Negara Islam atau Negara Pancasila, mewakili Keanekaragaman Perspektif ini.
Keanekaragaman Komunal
Terakhir, Keanekaragaman Komunal adalah suatu kondisi di mana sebagian besar masyarakat yang mencakup beberapa komunitas yang sadar diri dan terorganisasi dengan baik. Mereka menjalankan dan hidup dengan sistem keyakinan dan praktek yang berlain antara satu kelompok dengan lainnya.
Misal dari Keanekaragaman Komunal ini adalah para imigran yang baru tiba, komunitas-komunitas Yahudi di Eropa dan Amerika, kaum Gypsi, masyarakat Amish, kelompok-kelompok cultural yang berkumpul secara territorial seperti kaum Basque di Spanyol. Di Indonesia masuk ke dalam kelompok ini misalnya kawasan-kawasan Pecinan (hunian komunitas Cina), wilayah-wilayah yang dihuni suku-suku bangsa di luar wilayahnya (komunitas Batak di Jakarta atau Bandung, misalnya).
Bahasa atas tiga pengeritan keanekaragaman ini membawa kita pada pertanyaan, ke arah mana keanekaragaman Indonesia hendak dialamatkan? Asumsi peneliti akan keanekaragaman Indonesia biasanya langsung ditujukan pada hal-hal seperti keragaman agama, bahasa, suku bangsa, dan wilayah domisili berdasar kepulauan tempat tinggal. Namun, ketika diperhadapkan pada pembagian pengertian keanekaragaman menurut Parekh ini, perlu dilakukan suatu pemilahan yang tepat atas kajian kemajemukan Indonesia selanjutnya.
Kemajemukan di Indonesia
Berdasar argumentasi Parekh, multikulturalisme di Indonesia sesungguhnya lebih kompleks ketimbang Cuma membedakan aspek kesukubangsaan saja. Masalah kesukubangsaan ini lambat-laun mengalami perubahan makna. Sebagai missal, Yusuf Kalla (saat tulisan dibuat adalah wapres RI) yang orang Makassar menikah dengan Mufidah Kalla yang berasal dari Sumatera Barat. Kemungkinan, Yusuf Kalla relative mudah mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar” yang mempraktekkan budaya “Makassar.” Demikian pula istrinya, mengidentifikasi diri dan mempraktekkan budaya Sumatera Barat. Namun, bagaimana halnya dengan keturunan mereka? Apakah mereka mengidentifikasi diri selaku “orang Makassar”, “orang Sumatera Barat”, ataukah “orang baru” yang mengidentifikasi diri selaku orang setengah Makassar dan setengah Sumatera Barat.
Terkadang, guna memutus kebingungan identifikasi, seseorang yang merupakan keturunan perkawinan “campur” aneka suku bangsa mengidentifikasi diri selaku “orang Indonesia”. Ditinjau dari sisi ini, konsep integrasi nasional memiliki kekuatannya sendiri sebagai basis identitas mereka yang sulit mengidentifikasi diri dengan suku bangsa tertentu. Terlebih, jika keturunan dari dari perkawinan antar suku bangsa tersebut memperoleh keturunan dari suku bangsa lain yang berbeda dengan asal kedua orang tuanya. Masalah identifikasi akan semakin kompleks, dan ke-Indonesia-an semakin memperoleh signifikansi selaku basis identitas mereka.
Kembali kepada pengertian multikultur menurut Parekh. Subkultur, Perspektif, dan Komunal ketiganya sekaligus merupakan varian keanekaragaman yang dapat saja diterapkan terhadap kajian sistem sosial dan budaya Indonesia. Masuknya aneka budaya baru, perkembangan teknologi, industrialisasi, dan percampuran penduduk membuat kategorisasi keragaman hanya sekadar suku bangsa sebagai analisis sistem sosial dan budaya Indonesia terlihat berkurang signifikansinya.
Aneka subkultur kini pun tengah berkembang di Indonesia. Budaya-budaya Punk, kaum urban miskin kota, penduduk wilayah perbatasan, kelompok-kelompok buruh, kemudian membangun sistem nilai dan cara hidup tersendiri yang kemungkinan berbeda dengan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kendati berbeda, dalam satu dan lain aspek, mereka masih dapat bersepakatan dengan aturan dan sistem hukum yang berkembang di Indonesia. Ini dengan tidak melupakan fakta, keragaman yang bersifat subkultur ini tetap merupakan “minoritas” dan sulit berkembang menjadi “mayoritas”.
Selain itu, kelompok-kelompok baru yang dapat dianggap selaku representasi dari keanekaragaman perspektif adalah kelompok-kelompok perempuan, kelompok-kelompok keagamaan tertentu, kelompok-kelompok pakar ilmiah, yang kendati tetap hidup dalam budaya mainstream tetapi memiliki sejumlah kritik atas praktek kebudayaan yang berlangsung. Bersama kelompok-kelompok ini hidup, tetapi mereka terus mengupayakan perubahan atas beberapa aspek kebudayaan tertentu yang dipraktekkan.
Keanekaragaman Komunal paling mudah dikenali karena sejumlah manifestasi fisik yang mudah dicerap panca indera semisal bahasa, tata cara berpakaian, warna kulit, dan tata cara hidup. Orang Batak mudah dibedakan dengan Orang Sunda. Orang Papua mudah dibedakan dengan Orang Minangkabau, dan seterusnya. Suku-suku bangsa ini dapat saja hidup kendati berada di luar wilayah domisilinya. Misalnya, orang Batak hidup di perantauan di daerah Cimahi, Bandung. Orang-orang Batak ini kemungkinan menerbitkan suatu “perspektif” yang aneh bagi orang Sunda akibat beberapa perbedaan tata budayanya. Namun, kerap kali orang-orang Batak akan mengadopsi beberapa komponen budaya Sunda (bahasa, makanan, cara bergaul) demi mengintegrasikan diri mereka.
Parsudi Suparlan secara tegas menyebut masyarakat Indonesia sebagai masyarakat majemuk. Hal yang mencolok dari kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud dalam bentuk komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan sebagai acuan utama bagi jati diri bangsa.2 Suparlan menandaskan bahwa masyarakat majemuk ini memiliki kesulitan tersendiri dalam melakukan integrasi nasional.
Sebagai contoh dapat diambil Afrika Selatan tatkala di bawah rezim Apartheid. Kulit putih Eropa (Belanda, Belgia) yang menguasai Afrika Selatan muncul selaku pemerintah dan melakukan tindak diskriminasi sosial terhadap kaum kulit hitam. Pembedaan tidak hanya terjadi di sector politik, tetapi juga meliputi sector sosial dan ekonomi yang dibatasi garis-garis rasial, keyakinan agama, dan jenjang sosial feodalisme.3 Begitu pula, terdapat kesulitan bagi Suriname yang majemuk dalam menerapkan demokrasi akibat konflik kepentingan antara 2 suku bangsa mayoritas di Negara tersebut. Akibatnya, Suriname kerap mengalami Military-Dictatorship demi pengembangan stabilitas nasionalnya.
Namun, ini bukan berarti multikulturalisme menjadi preseden terbentuknya consensus nasional berbangsa. Amerika Serikat, sebagai contoh, pada awal berdirinya adalah cukup “rasis” dengan konsep WASP-nya (White Anglo Saxon Protestant). Pemerintah Amerika Serikat hanya berhak dianggotai oleh orang-orang kulit putih asal Inggris yang beragama Protestan. Kini konsep tersebut lambat-laut mencair dan bahkan, orang keturunan kulit hitam seperti Barack Husein Obama mampu muncul sebagai orang nomor 1 di Negara tersebut.
J.S. Furnivall termasuk orang yang pertama kali menyebut Indonesia selaku bangsa majemuk. Masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedfemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.4
Ciri dari masyarakat majemuk adalah secara structural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Ia kurang mengalami perkembangan dalam hal sistem nilai atau consensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat. Kurang pula ditandai oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relative murni serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan sailng ketergantungan di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya.
Bagi seorang ahli Indonesia lain, Clifford Geertz, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial.5
Hal yang menarik kemudian dinyatakan Pierre L. van den Berghe seputar ciri dasar dari masyarakat majemuk ini, yaitu :
1. Terjadinya segmentasi ke dalam
bentuk kelompok-kelompok yang seringkali memiliki subkebudayaan yang
berbeda-beda satu sama lain;
2. Memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer;
3. Kurang mengembangkan konsensus di
antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar;
4. Secara relative seringkali mengalami
konflik-konflik di antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain;
5. Secara relative integrasi sosial
tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang
ekonomi; serta
6. Adanya dominasi politik oleh suatu
kelompk atas kelompok-kelompok yang lain.6
Masyarakat majemuk biasanya tersegmentasi ke dalam kelompok yang punya subkebudayaan yang saling berbeda. Ini mirip seperti yang diutarakan Bhikhu Parekh tentang Keanekaragaman Subkultur, Keanekararagaman Perspektif, dan Keanekaragaman Komunal. Misalkan saja, kultur-kultur masyarakat pesisir pantai Indonesia yang terbuka relative berbeda dengan kultur-kultur masyarakat pedalaman (pegunungan). Ini belum lagi ditambah dengan kultur-kultur etnis (Sunda, Batak, Jawa, Makassar) yang memiliki “way of life” spesifik yang berbeda satu dengan lainnya. Sebab itu, konflik-konflik etnis seperti antara Dayak-Melayu-Madura di Kalimantang mudah sekali terpantik.
Tidak hanya Indonesia, Negara-negara lain pun turut “menderita” akibat masalah kemajemukan ini. Srilanka hingga kini didera pertikaian etnis Sinhala dan Tamil, dua suku bangsa besar di Negara tersebut. Spanyol, Negara Eropa, secara laten rentan dilanda pertikaian etnis Catalan dan Basque. Filipina mengalami potensi disintegrasi akibat perbedaan agama, misalnya kasus wilayah Moro yang dihuni penduduk Islam. Sama dengan Filipina, Thailand pun wilayah Pattani yang dihuni penduduk Islam hendak memisahkan diri.
Untuk mengatasi kemajemukan Indonesia ini, secara historis founding fathers merumuskan Pancasila. Lima kalimat singkat dalam Pancasila digunakan sebagai basis consensus yang diyakini merupakan common will dari subkultur-subkultur yang hidup di masyarakat majemuk Indonesia. Sulit dibayangkan jika consensus dasar (Pancasila) ini kemudian berubah.
Nasikun menandaskan keragaman ini kemudian mengimbas pada aspek-aspek kehidupan lainnya. Dengan mengkontraskan antara apa yang ia sebut sebagai “masyarakat majemuk” (plural society) dengan “masyarakat homogen” (homogeneus society), Nasikun mengetengahkan beberapa konflik yang muncul akibat ketiadaan “common will” (kehendak bersama). Pada masyarakat homogeny, common will relative ada. Ini akibat serupanya asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat. Sementara pada masyarakat plural, common will menjadi suatu yang jarang akibat adanya perbedaan asal usul etnis, agama, dan tata adat istiadat (budaya).
Pemahaman Psikologi Masyarakat Indonesia
Sebagai Upaya Menjembatani
Permasalahan Silang Budaya*)
Oleh : Endang Poerwanti **)
Lembaga Kebudayaan - Universitas Muhammadiyah Malang
Abstrak
Permasalahan silang budaya
terkait dengan paham kultural
materialisme yang mencermati permasalahan
budaya dari pola pikir dan tindakan dari
kelompok sosial tertentu. Pola
temperamen yang relatif seragam ini ditentukan oleh faktor keturunan, kebutuhan
dan hubungan sosial yang terjadi di antara mereka, sehingga dalam kehidupan
suatu kebudayaan cenderung untuk mengulang-ulang bentuk-bentuk perilaku tertentu, karena pola perilaku tersebut
diturunkan melalui pola asuh dan proses
belajar. Kemudian muncullah struktur
kepribadian rata-rata, atau stereotipe perilaku yang merupakan ciri khas suku
bangsa dan masyarakat tertentu.
Masyarakat Indonesia yang majemuk
terdiri dari berbagai budaya, karena
adanya kegiatan dan pranata khusus. Perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan
integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek
moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan
dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat
egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang
budaya dapat terjembatani dengan
membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi
antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan ciri khas budaya
tertentu, terutama psikologi masyarakat yaitu pemahaman pola perilaku
masyarakatnya. Juga peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara
substantif dan distributif, sehingga dapat menampilkan informasi apresiatif
terhadap budaya masyarakat lain.
Pendidikan sebagai
proses humanisasi menekankan pembentukan makhluk sosial yang mempunyai
otonomi moral dan sensivitas
/kedaulatan budaya, yaitu manusia yang
bisa mengelola konflik, menghargai kemajemukan, dan permasalahan silang budaya.
Toleransi budaya di lembaga pendidikan dapat diupayakan lewat pergaulan di
sekolah dan muatan bidang studi,
transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan
revolusi yang dipaksakan.
Pendahuluan
Pemerintah telah bertekad untuk
dapat memajukan masyarakat serta pendidikan nasional, yang berakar pada
kebudayaan nasional (Pasal I ayat 2 Undang-Undang No II tahun 1989), tekad ini
mengandung pengertian bahwa penyelenggaraan pendidikan Nasional akan
selalu berpijak pada bumi dan budaya
Indonesia. Berangkat dari permasalahan
di atas, makalah ini disusun dan bertujuan untuk dapat mengungkap bagaimana
upaya untuk dapat memahami psikologi masyarakat Indonesia sebagai upaya
menjembatani permasalahan silang budaya, pemahaman ini diperlukan karena pada
dasarnya kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan perwujudan
(pengejawantahan) manusiawi dari individu-individu yang berada dalam masyarakat
pendukungnya sehingga permasalahan kebudayaan akan selalu berkembang sejalan
dengan perkembangan pola pikir dan kebutuhan manusia yang sudah barang tentu tidak bisa lepas dari aspek psikologis dan
kepribadian dari orang-orang dalam masyarakat tersebut.
Dalam konsep yang paling dominan
kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga menurut faham ini
pemahaman dan pemaknaan kebudayaan lebih
banyak dicermati sebagai keseluruhan
system gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar (Koentjaraningrat, 1980 : 193).
Sejalan dengan pengertian
tersebut maka tingkah laku manusia
sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya
dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah
laku manusia (Geertz, 1973), kebudayaan
adalah segala sesuatu yang dipelajari
dan dialami bersama secara sosial, oleh
para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan
(Folkways) dan tata kelakuan (mores
) tetapi suatu sistem perilaku yang
terorganisasi.
Masyarakat Indonesia yang terdiri
dari berbagai budaya secara logis akan mengalami berbagai permasalahan, persentuhan antar budaya akan selalu
terjadi karena permasalahan silang
budaya selalu terkait erat dengan
curural materialisme yang mencermati budaya dari pola piker dan tindakan dari kelompok sosial
tertentu dimana pola temperamen ini banyak ditentukan oleh faktor keturunan (genetic), ketubuhan dan hubungan sosial
tertentu. Nilai-nilai yang terkandung
dalam kebudayaan menjadi acuan sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk
individual yang tidak terlepas dari
kaitannya pada kehidupan masyarakat
dengan orietasi kebudayaannya yang khas, sehingga baik pelestarian
maupun pengembangan nilai-nilai budaya merupakan proses yang bermatra
individual, sosial dan cultural
sekaligus.
Dalam kenyataan persentuhan
nilai-nilai budaya sebagai manifestasi
dinamika kebudayaan tidak selamanya berjalan secara mulus. Permasalahan silang buaya dalam
masyarakat majemuk (heterogen) dan
jamak (pluralistis) seringkali
bersumber dari masalah
komunikasi, kesenjangan tingkat pengetahuan, status sosial, geografis, adat
kebiasaan dapat merupakan kendala bagi tercapainya suatu consensus yang
perlu disepakati dan selanjutnya ditaati
secara luas. Ditambah lagi dengan posisi Indonesia sebagai negara berkembang,
akan selalu mengalami perubahan yang pesat dalam berbagai aspek kehidupan,
maka dengan meminjam istilah Budiono, yang menyatakan bahwa
pangkal masalah dalam masyarakat Indonesia adalah : masyarakat Indonesia cenderung dapat dipandang sebagai “suatu
masyarakat besar yang belum selesai”. Hal ini dapat dikembalikan pada adanya
berbagai dorongan sentripetal dan sentrifugal yang bersilangan secara terus
menerus naik ke permukaan secara silih
berganti. Persentuhan antar budaya yang terjadi secara dinamis
dalam proses tawar menawar bisa mewujudkan perubahan tata nilai yang tampil
sekedar sebagai pergeseran ( (shift)
antar nilai, atau peresengketaan (conflict) antar nilai atau bahkan dapat
berupa benturan (clash) antar nilai tersebut. Apapun bentuk dan perwujudan dari
permasalahan silang budaya, harus dapat dipandu dan dikendalikan, atau paling
tidak diupayakan adanya mekanisme yang
dapat menjembatani permasalahan ini, baik melalui jalur pendidikan maupun media masa.
Harus dipahami bahwa penggalian
budaya nasional bukan diarahkan konformisme budaya, tetapi lebih
diarahkan pada totalitas nilai dan perilaku yang mencerminkan hasrat dan
kehendak masyarakat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara sehingga mempunyai
dua arah pokok yaitu fungsi pelestarian dan fungsi pengembangan. Fungsi
pelestarian diarahkan pada pengenalan dan pendalaman nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang bersifat universal, dan merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak
ternilai harganya, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan dan memperkokoh rasa cinta tanah air dan kebanggan nasional.
Dalam fungsi pengembangan diarahkan pada
perwujutan budaya nasional yaitu perpaduan keragaman budaya tradisional
ditambah dengan nilai-nilai baru yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai
universal yang berlaku dalam budaya masyarakat, guna memperkaya budaya bangsa
dan mempekukuh jati diri dan kepribadian bangsa. Kebudayaan Etnis yang
kadangkala sedemikian kuat membelenggu, perlu dipahami sebagai kebudayaan
sekumpulan individu yang bersatu kedalam etnis tertentu oleh karenanya permasalahan
silang budaya, hanya dapat terjembatani dengan pemahaman bahwa keutuhan suatu
bangsa dapat terbentuk dengan kesadaran setiap individu dan kesadaran setiap
etnis yang terhimpun dalam suatu bangsa , sehingga perlu membina kesadaran
individu dan kesadaran etnis sebagai himpunan
individu.
Psikologi Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaannya pada
dasarnya merupakan tayangan besar dari
kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada
masyarakat yang kompleks (majemuk)
memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan
kadangkala bertentangan, Perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini
sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang
saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh
kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan
belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam
masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan
karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu
dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses
pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya,
karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan
pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas
peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada
pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya.
Masyarakat Indonesia sebagai
salah satu negara berkembang mempunyai ciri , adanya perubahan yang sangat
pesat dalam berbagai aspek kehidupan,
baik perubahan system ekonomi, polotik sosial dan sebagainya, dan dalam
kenyataan tidak ada satupun gejala perubahan sosial yang tidak menimbulkan
akibat terhadap kebudayaan setempat. Kebudayaan
dianggap sebagai sumber penggalangan konformisme perilaku individu pada
sekelompok masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, karena setiap anak
manusia lahir dalam suatu lingkungan
alam tertentu (nature) dan dalam satu
lingkungan kebudayaan tertentu (culture) yang keduanya merupakan lingkungan
yang secara apriori menentukan proses pengasuhannya (nurture) dalam
pengembangannya sebagai anak manusia, dalam proses pembelajaran, sehingga dalam
kanyataan, kebudayaan cenderung mengulang-ulang perilaku tertentu melalui pola
asuh dan proses belajar yang kemudian memunculkan adanya kepribadian rata-rata, atau stereotype
perilaku yang merupakan ciri khas dan masyarakat tertentu yang mencerminkan
kepribadian modal dalam lingkungan tersebut, dari pemahaman ini kemudian muncul
stereotipr perilaku pada sekelompok individu pada masyarakat tertentu..
Konsep watak kebudayaan sebagai kesamaan regularities sifat di dalam
organisasai intra psikis individu
anggota suatu masyarakat tertentu yang diperoleh karena cara pengasuhan
anak yang sama di dalam masyarakat yang bersangkutan, (Margaret Mead,) Apabila
ini dikaitka dengan konsep watak masyarakat (social character) dilandasi oleh
pikiran untuk menghubungkan kepribadian tipical dari suatu kebudayaan (watak masyarakat) dengan kebutuhan
obyektif masyarakat yang dihadapi suatu
masyarakat. Dalam hal ini Danandjaja :
1988 ) ingin menggabungkan antara gagasan lama tentang sifat adaptasi pranata sosial terhadap kondisi lingkungan, dengan modifikasi karakterologi psiko
analitik. Teori Erich Formm mengenai
watak masyarakat (social character) kendati mengakui juga asumsi dari teori
lainnya mengenai tranmisi kebudayaan
dalam hal membentuk “kepribadian
tipikal’ atau kepribadian
kolektif namun dia telah juga mencoba untuk menjelaskan fungsi-fungsi
sosio historical dari tipe kepribadian tersebut. Yang menghubungkan kepribadian tipikal dari suatu
kebudayaan dengan kebutuhan obyektif
yang dihadapi suatu masyarakat. Untuk memuskan hubungan itu secara efektif suatu masyarakat perlu menerjemahkannya
kedalam unsur-unsur watak (traits) dari
individu anggotanya agar mereka bersedia melaksanakan apa yang harus mereka lakukan.
Unsur-unsur watak bersama tersebut membentuk watak masyarakat dari
masyarakat tersebut melalui latihan yang dilakukan oleh orang tua terhadap
anak-anak mereka, sementara orang tua telah memperoleh unsur-unsur watak
tersebut baik dari orangtuanya atau sebagai jawaban langsung terhadap
kondisi-kondisi perubahan masyarakat Dalam konteks ekologi kebudayaan manusia
merupakan hasil dari 2 proses yang saling mengisi yaitu adanya
perkembangan sebagai hasil hubungan manusia
dengan lingkungan alamnya yang mendorong manusia untuk memilih cara
dalam menyesuaikan diri secara aktif dan kemampuan manusia dalam berpikir
metaphoric sehingga dapat memperluas
atau mempersempit jangkauan dari lambang-lambang dalam system arti yang
berkembang sedemikian rupa sehingga lepas dari pengertia aslinya, sehingga
kebudayaan secara umum diartikan sebagai kompleksitas system nilai dan gagasan
vital yang menguasai atau merupakan pedoman bagi terwujudnya pola tingkah laku bagi masyarakat
pendukungnya.
Masyarakat
Multikultural dan Masalah Silang Budaya
Masyarakat
indonesia dan kompleks kebudayaannya masing-masing plural (jamak ) dan
heterogen (anekaragam). Pluralitas sebagai kontradiksi dari singularitas
mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri dari kejamakan, yaitu
dijumpainya berbagai sub kelompok masyarakat yang tidak bisa di satu kelompokkan satu dengan yang lainnya,
demikian pula dengan kebudayaan mereka, sementara heterogenitas merupakan kontraposisi dari homogenitas
mengindikasi suatu kualitas dari keadaan
yang menyimpan ketidak samaan dalam unsur-unsurnya.
Hambatan-hambatan
yang potensial dimiliki oleh suatu
masyarakat yang plural dan heterogen juga dapat ditentukan dalam banyak aspek
lainnya : Struktur sosial yang berbeda akan
menghasilkan pola dan proses pembuatan keputusan sosial yang
berbeda, pluralitas dan heterogentitas
seperti diuraikan di atas juga tanpa
memperoleh tantangan yang sama kerasnya dengan tantangan terhadap upaya untuk
mempersatukannya melalui konsep negara kesatuan
yang mengimplikasikan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dilakukan
secara sentralistik.
Masyarakat Indonesia yang majemuk yang terdiri dari berbagai budaya,
karena adanya berbagai kegiatan dan pranata khusus dimana setiap kultur
merupakan sumber nilai yang memungkinkan
terpeliharanya kondisi kemapanan dalam kehidupan masyarakatta
pendukungnya, setiap masyarakat pendukung kebudayaan (culture bearers)
cenderung menjadikan kebudayaannya sebagai kerangka acuan bagi perikehidupannya yang sekaligus untuk
mengukuhkan jati diri sebagai
kebersamaan yang berciri khas (Fuad Hassan, 1998). Sehingga perbedaan antar kebudayaan, justru bermanfaat dalam
mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.
Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada
sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan
secara damai merupakan kekayaan yang tak
ternilai dalam khasanah budaya nasional
karena diunggulkannya suatu nilai oleh seseorang atau sekelompok masyarakat,
bukan berarti tidak dihiraukannya nilai-nilai lainnya melainkan kurang
dijadikannya sebagai acuan dalam
bersikap dan berperilaku dibandingkan dengan nilai yang diunggulkannya.
Sehingga permasalahan multicultural justru merupakan suatu keindahan bila
indentitas masing-masing budaya dapat bermakna
dan diagungkan oleh masyarakat pendukungnya serta dapat dihormati oleh kelompok masyarakat yang lain
, bukan untuk kebanggan dan sifat egoisme kelompok apalagi bila diwarnai oleh
kepentingan-kepentingan politik tertentu misalnya digunakanya symbol-simbol budaya jawa yang
“salah kaprah” untuk membengun struktur dan budaya politik yang
sentralistik.
Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah adanya persentuhan dan saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dengan kebudayaan umum lokal, dan dengan
kebudayaan nasional. Diantara hubungan-hubungan ini yang paling kritis adalah hubungan antara kebudayaan suku bangsa
dan umum local di satu pihak dan kebudayaan nasional di pihak lain. Pemaksaan untuk merubah tata nilai atau upaya
penyeragaman budaya seringkali dapat memperkuat penolakan dari budaya-budaya
daerah, atau yang lebih parah bila upaya mempertahankan tersebut, justru disertai dengan semakin menguatnya Etnosentrime
Etnosentrisme secara formal didefinisikan sebagai pandangan bahwa kelompok
sendiri adalah pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan
dinilai sesuai dengan standar kelmok sendiri.
Etnosentrisme membuat kebudayaan diri sebagai patokan dalam mengukur
baik buruknya, atau tinggi rendahnya dan benar atau ganjilnya kebudayaan
lain dalam proporsi kemiripannya dengan
kebudayaan sendiri, adanya. kesetiakawanan yang kuat dan tanpa kritik pada
kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai dengan prasangka terhadap kelompok
etnis dan bangsa yang lain. Orang-orang
yang berkepribadian etnosentris cenderung berasal dari kelompok masyarakat yang
mempunyai banyak keterbatasan baik dalam pengetahuan, pengalaman, maupun komunikasi, sehingga sangat mudah
terprofokasi. Perlu pula dipahami bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
masih berada pada berbagai keterbatasan tersebut.
Ditambahkan oleh Budiono bahwa ;
Dalam masyarakat selalu bekerja dua macam kekuatan yaitu kekuatan yang
ingin menerima perubahan dan kekuatan yang menolek adanya perubahan. Meskipun
selalu terdapat dua kekuatan, namun
sejarah memperlihatkan bahwa kaum
konserfatif cepat atau lambat akan terdesak untuk memberi tempat pada adanya
perobahan. Proses itu seringkali tidak
berjalan secara linier, tapi berjalan maju mundur. Konflik antara kaum
progresif dengan kaum konserfative maupun konflik diantara kaum progresif itu
sendiri. Dalam “masyarakat yang sudah
selesai” konflik itu sudah ditempatkan
dalam suatu mekanisme yang biasanya
merupakan tatanan sosial politik yang sudah dirasionalisasikan sehingga konflik
itu didorong untuk diselesaikan secara argumentatif. Sebaliknya pada masyarakat
berkembang (masyarakat yang belum selesai) konflik itu biasanya berlangsung
“secara liar” karena para pelakunya masih sama-sama mencari mekanisme untuk
menyelesaikan/ mengatasi
perbedaan-perbedaan di antara mereka secara rasional, susahnya
dalam bersama-sama mencari mekanisme
itu masing-masing kekutan progresif itu
juga berusaha untuk mencari kekuatan
yang dominan, untuk mencari dan menentukan bentuk mekanisme penyelesaian,
kadang-kadang bentuk mekanisme itu bisa diusahakan serasional mungkin tetapi bisa saja terjadi
bahwa usaha-usaha itu dipadu dengan
pemaksaan fisik.
Dengan pemahaman pada fenomena tersebut landasan sosial budaya masyarakat
Indonesia yang bercorak pada masyarakat majemuk (plural society) perlu
memperoleh perhatian dan dikaji kembali, karena ideology masyarakat majemuk
lebih menekankan pada keanekaragaman suku bangsa akan sangat sulit untuk
diwujudkan dalam masarakat yang demokratis dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Untuk mencapai tujuan
proses-proses demokratisasi, ideology harus digeser menjadi ideology
keanekaragaman budaya atau multi kulturalisme, Kemajeukan masyarakat Indonesia
yang terdiri atas berbagai suku bangsa maka yang nampak menyolok dalam
kemajemukan masyarakat Indonesia adalah penekakanan pada pentingnya kesukubangsaan yang terwujud
dalam komunitas-komunitas suku bangsa, dan digunakannya kesukubangsaan tersebut
sebagai acuan utama bagi jati diri individu. Ada sentimen-sentimen kesuku
bangsaan yang memiliki potensi pemecah belah dan penghancuran sesama bangsa
Indonesia karena masyarakat majemuk menghasilkan batas-batas suku bangsa yang
didasari oleh stereotip dan prasangka yang menghasilkan penjenjangan sosial,
secara primordial dan sobyektif.
Konflik-konflik yang terjadi antar etnik dan antar agama yang terjadi,
sering kali berintikan pada permasalahan hubungan antara etnik asli setempat
dengan pendatang, konfkil –konflik itu terjadi
karena adanya pengaktifan secara berlebihan jatidiri etnik untuk
solidaritas dalam memperebutkan sumber daya yang ada (Hamengku Buwono X. 2001).
Kendala dan Upaya Penyelesaian Permasalahan
Silang Budaya
Dengan
mencermati berbagai permasalahan silang budaya dan kondisi masyarakat
Indonesia, dapat ditenui adanya berbagai
masalah yang ditengarai sebagai kendala penyelesaian masalah diantaranya adalah
: (1) Rendahnya tingkat pengetahuan, pengalaman, dan jangkauan komunikasi
sebagian masyarakat yang dapat mengakibatkan
rendahnya daya tangkal terhadap budaya asing yang negatif, dan
keterbatasan dalam menyerap serta mengembangkan nilai-nilai baru yang positif,
sekaligus mudah sekali terprofokasi dengan isu-isu yang dianggap mengancam
eksistensinya (2) Kurang maksimalnya media komunikasi dalam memerankan
fungsinya sebagai mediator dan korektor informasi, (3) Paradigma pendidikan
yang lebih menekankan pengembangan
intelektual dengan mengabaikan pengembangan kecerdasan emosional,
pembentukan sikap moral, dan penanaman nilai budaya. Manusia terbuai kegiatan
& pembangunan yang pragmatis, yang memberikan manfaat materiil yang lebih
mudah teramati dan terukur, sehingga seringkali sangsi formal lebih ditakuti
daripada sangsi moral. (4). Meningkatnya gejala “Societal crisis on caring”
(krisis pengasuhan dan kepedulian dalam masyarakat) karena tingginya mobilitas sosial dan transformasi kultural
yang ditangkap dan diadopsi secara
terbatas.
Sejalan
dengan berbagai kendala yang ada maka upaya penyelesaian permasalahan silang budaya dapat dilakukan
dengan : Pertama dapat dilakukan
dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat ; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi
antarbudaya. Yang dapat diawali dengan peningkatan tingkat pengetahuan
masyarakat tentang kebhinekaan budaya, dengan berbagai model pengenalan ciri
khas budaya tertentu, terutama
psikologi masyarakat yaitu pemahaman
pola perilaku khusus masyarakatnya. Kedua
: Peningkatan peran media komunikasi, untuk melakukan sensor secara
substantif yang berperan sebagai korektor terhadap penyimpangan norma sosial
yang dominan, dengan melancarkan tekanan korektif terhadap subsistem yang
mungkin keluar dari keseimbangan fungsional. Pengungkapan skandal atau
perbuatan yang merugikan kepentingan umum dan melecehkan nilai-nilai yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat, harus disiarkan dengan fungsi sebagai
pemeliharaan kestabilan. Sedang kontrol secara
distributif, berfungsi memelihara
keseimbangan sistem melalui diseminasi
selektif dan berbagai ragam
teknik-teknik penyebaran maupun
penyaringan informasi, yang mungkin dapat mengundang kemelut dalam
masyarakat atau menimbulkan perpecahan, justru media komunikasi dituntut untuk
dapat menampilkan berbagai informasi
yang bersifat apresiatif terhadap budaya
masyarakat lain.
Ketiga : Strategi pendidikan yang
berbasis budaya, dapat menjadi pilihan karena pendidikan berbasis adat tidak akan melepaskan diri dari prinsip bahwa manusia adalah faktor utama,
sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek sekaligus tujuan dalam setiap
langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya tradisional dapat
terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan keluarga,
pendidikan formal maupun non formal.
Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang
dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi yang melihat manusia sebagai makhluk hidup
dalam konteks lingkungan ekologinya,
yang memerlukan terasahnya kemampuan intelektual untuk menghadapi tantangan
kesejagadan dengan pendidikan sebagai proses humanisasi yang
lebih menekankan manusia sebagai makhluk sosial yang mempunyai otonomi moral
dan sensivitas /kedaulatan budaya, sehingga terbentuk manusia yang bisa
mengelola konflik, dan menghargai kemajemukan, serta dapat tegar terhadap arus
perubahan dengan memperetajam sence of
belonging, self of integrity, sence of participation dam sence of
responcibility sebagai benteng terhadap pengaruh faktor eksternal tersebut,
transformasi budaya harus dipandu secara pelan-pelan, bukan merupakan revolusi
yang dipaksakan.
Kesimpulan
Bhineka Tunggal Ika sebagai
semboyan, menampakkan bahwa kongruensi antara aspek kebhinekaan yang
manunggal dalam ke ekaan mulai menjadi mesalah yang tak pernah kunjung selesai.
Masyarakat majemuk yang menekankan keanekaragaman etnik sepatutkan dikaji ulang
untuk digeser pada pluraisme budaya
(multi culturalme) yang mencakup tidak hanya kebudayaan etnik tapi juga
berbagai lokal yang ada di Indonesia, sekaligus harus dibarengi oleh kebijakan
politik Nasional yang meletakkan berbagai
kebudayaan itu dalam kesetaraan derajad.
Tranformasi budaya dan berbagai
permasalahan silang budaya harus dapat dipandu secara perlahan lewat jalu media
massa maupun pendidikan. Kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta arus informasi,
memerlukan berbagai penyesuaian, baik dalam struktur pekerjaan, tuntutan
keahlian mobilitas sosial dan sebagainya, dalam proses perubahan tersebut bila tidak memiliki akar budaya yang kuat
akan kehilangan identitas diri, dan terbawa arus. Tatanan sosial dan tradisi
lokal yang berakar kuat akan memberikan sentuhan halus yang mengingatkan
manusia agar tidak terbawa arus perubahan yang demikian dahsyat. Nilai budaya yang berkembang dalam suatu
masyarakat, akan selalu berakar dari kearifan tradisional yang muncul dan
berkembang sejalan dengan perkembangan masyarakat itu sendiri, kemajemukan
masyarakat Indonesia dengan ciri keragaman budayanya tidak bisa secara otomatis
terintegrasi menjadi kebudayaan Nasional, yang sama mantapnya dengan setiap
sistem adat yang ada, karena kebudayaan
Nasional tersebut baru pada taraf pembentukan.
Dengan berpijak pada pemahaman
tersebut, nampak bahwa kebijakan pendidikan yang sentralistik menjadi
tidak relevan. Strategi pendidikan yang berbasis budaya, dapat menjadi pilihan
karena pendidikan berbasis adat tidak
akan melepaskan diri dari prinsip bahwa
manusia adalah faktor utama, sehingga manusia harus selalu merupakan sobyek
sekaligus tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Nilai-nilai budaya
tradisional dapat terinternalisasi dalam proses pendidikan baik di lingkungan
keluarga, pendidikan formal maupun non formal.
Khususnya pendidikan di sekolah diperlukan adanya paradigma baru yang
dapat menyajikan model & strategi pembelajaran yang dapat menseimbangkan
proses homonisasi dan humanisasi.
B.
Pengertian Struktur
masyaraka
Struktur
masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik.
1.
Horizontal
Ditandai
oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan social berdasarkan perbedaan
suku-bangsa, perbedaan agama, adat serta perbedaan-perbedaan kedaerahan.
2. Vertical
Strktur
maysrakat Indonesia ditandai adanya perbedaan2 vertikal antara lapisan atas dan
lapisan bawah yang cukup dalam.
Perbedaan2
suku-bangsa, perbedaan2 agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut sebagai
ciri masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk. Istilah masyarakat majemuk
(plural societies) ini diperkenalkan oleh J.S. Furnivall untuk menggambarkan
masyarakat Indonesia pada zaman Hindia-Belanda. Plural societies yaitu suatu masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada
pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Masyarakat Indonesia zaman
Hindia Belanda tersebut adalah tipe masyarakat tropis dimana mereka yang
berkuasa dan mereka yang dikuasai memiliki perbedaan ras.
Penduduk
atau warga suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua:
* Orang yang tinggal di daerah tersebut
* Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain
orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti
kewarganegaraan, tetapi memilih tinggal di daerah lain.
Dalam
sosiologi, penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan
ruang tertentu.
Masalah-masalah
kependudukan dipelajari dalam ilmu Demografi. Berbagai aspek perilaku menusia
dipelajari dalam sosiologi, ekonomi, dan geografi. Demografi banyak digunakan
dalam pemasaran, yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonomi, seperti
pengecer hingga pelanggan potensial.
C.
Keragaman suku bangsa
Orang-orang
Indonesia berasal dari berbagai suku bangsa, termasuk Jawa, Sunda, Madura,
Aceh, Batak, Minangkabau, Bali, dan Bugis. Suku Jawa adalah yang terbesar di
Indonesia, dan mereka kurang lebih merupakan 45% dari seluruh populasi. Mereka
berasal dari bagian tengah tengah dan timur Pulau Jawa. Suku Sunda adalah suku
terbesar kedua , dan mereka merupakan 14% dari seluruh populasi. Mereka pada
awalnya mendiami bagian barat Pulau Jawa. Suku terbesar ketiga adalah suku
Madura, yang merupakan 7,5% dari seluruh populasi. Mereka pada awalnya mendiami
Pulau Madura, bagian timur Pulau Jawa dan Kepulauan Kangean. Suku bangsa
terbesar keempat adalah suku Minangkabau, yang merupakan 3% dari seluruh
populasi dan merupakan pendiam dari propinsi Sumatera Barat. Minangkabau sangat
terkenal di kalangan antropolog sebagai penganut sistem matrilineal terbesar di
dunia.
Meskipun
etnis tionghoa mewakili sebagian kecil dari total populasi (lebih kecil dari
3%), mereka merupakan kekuatan utama dari ekonomi, mengoperasikan segalanya
mulai dari toko-toko kecil hingga bank-bank besar dan industri-industri di
Indonesia. Sebagian besar dari etnis tionghoa di Indonesia memiliki leluhur
yang berasal dari selatan Cina dan berasal dari ras Hakka, Hokkien, atau
Kanton. Etnis tionghoa di Indonesia biasanya terbagi menjadi 2 kelompok utama:
(i) Cina peranakan, yang biasanya memiliki latar belakang Cina dan Indonesia,
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa utamanya, dan yang biasanya
mengadopsi adat istiadat Indonesia; dan (ii) Cina totok, yang dianggap sebagai
Cina murni, yang biasanya merupakan pendatang generasi pertama atau kedua, dan
memegang kebudayaan Cina dengan teguh.
D.
Bhineka Tunggal Ika
Bhineka
Tunggal Ika adalah Berbeda-beda Tapi Tetap Satu.
Sejarah negara
kita benar-benar beragam dengan kisah yang berbeda dengan tujuan berbeda dan
pastinya menimbulkan opini2 yang berbeda pula dengan sudut pandang dan latar
belakang yang juga variatif.
Pancasila
ini menarik..Kenapa? karena Pancasila ini hasil dari pemikiran mahluk dan
Benarkah Pancasila merupakan karya otentik Bung Karno?? Tidak semua pakar
sejarah sepakat, karena sebelum Bung Karno menyampaikan rumusan Pancasila, pada
1 Juni 1945, Prof. M. Yamin sudah lebih dulu menyampaikan rumusan itu.
Setidaknya,
Bung Karno bukanlah satu-satunya penggali, sebab selain Bung Karno dan Yamin,
Soepomo termasuk salah seorang founding fathers yang memperkenalkan Pancasila
pada rakyat Indonesia.
Sebagai
dasar negara RI, Pancasila juga bukanlah perahan murni dari nilai-nilai yang
berkembang di masyarakat Indonesia. Karena ternyata, sila-sila dalam Pancasila,
sama persis dengan asas Zionisme dan Freemasonry. Seperti Monotheisme
(Ketuhanan YME), Nasionalisme (Kebangsaan), Humanisme (Kemanusiaan yang adil
dan beradab), Demokrasi (Musyawarah), dan Sosialisme (Keadilan Sosial).
Tegasnya, Bung Karno, Yamin, dan Soepomo mengadopsi (baca: memaksakan) asas
Zionis dan Freemasonry untuk diterapkan di Indonesia.
Selain
alasan di atas, agama-agama yang berlaku di Indonesia tidak hanya Islam, tetapi
ada Kristen Protestan dan Katolik, Hindu, Budha, bahkan Konghucu. Kesemua agama
itu, menganut paham atau konsep bertuhan banyak, bahkan pengikut animisme.
Hanya agama Islam saja yang memiliki konsep Berketuhanan YME (Allahu Ahad).
Pada masa
pra kemerdekaan tatanan sosial masyarakat di Nusantara, kebanyakan terdiri dari
kerajaan-kerajaan Hindu. Dari sistem monarkis seperti ini, belum dikenal konsep
musyawarah untuk mufakat; tetapi yang berlaku adalah sabda pandita ratu.
Rakyat harus
tunduk dan patuh pada titah sang raja tanpa reserve. Sekaligus, minus
demokrasi, karena kedudukan raja diwarisi turun temurun. Kala itu, tidak ada
persatuan. Perpecahan, perebutan kekuasaan dan wilayah, selalu mengundang
pertumpahan darah. Lantas, berdasarkan apa Bung Karno menyatakan bahwa
Pancasila adalah hasil perahan dari saripati nilai-nilai yang hidup di kawasan
Nusantara??Nampaknya, Bung Karno telah berbohong, dan malu bila disebut
plagiator ideologi.
E.
Problematika keragaman dan solusinya
Sebagaimana
yang terungkap dalam pendahuluan di atas, bahwa remaja adalah satu sosok
manusia yang berada di antara dua fase yaitu anak-anak dan dewasa sehingga
karena keberaaannya tersebut, remaja tidak memiliki kematangan intelektual dan
emosional. Kecuali itu, remaja memiliki banyak ragam problematika yang
membebaninya. Problematika tersebut antara lain :
Pertama,
ketidakmatangan intelektual dan emosional. Hal ini berakibat pada tindakan yang
tidak rasional, cenderung emosional dan tanpa pikir panjang. Hal ini sangat
bertentangan dengan dasar dan kaedah Agama.
Kedua, tidak
mampu berprestasi dan membanggakan prestasi orang tua. Kesulitan belajar sering
dialami sebagian remaja. Kesulitan dalam pengertian yang sebenarnya ataupun
kesulitan yang disebabkan hilangnya minat belajar dan membaca. Hal ini kan
berakibat pada sulitnya
0 komentar:
Posting Komentar